Pengamat Politik Unhas, Hasrullah berpendapat, aturan Presidential Threshold harus diamandemen karena tidak memberi kesempatan kepada partai-partai kecil untuk mendorong kader potensialnya, apalagi untuk calon perseorangan.
Sebab aturan Presidental Threshold mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Parpol), memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.
“Ini akibat oligarki yang terjadi di partai, akhirnya seperti itu, membunuh aspirasi, baik dari partai-partai yang punya kualitas untuk maju, begitu juga jalur perseorangan. Jadi saya kira wajar kalau harus dirubah, di amandemen, karena kalo hanya di katakan 20-25% cuma PDI yang bisa (mencalonkan),” ujar Hasrullah.
Ia menilai, saat ini partai politik sudah digerogoti praktek oligarki, sehingga fungsi partai sebagai wadah kader politik tidak lagi berjalan.
“Jadi makanya kalau bagus, cari calon yang paling bagus, paling berkualitas, kemudian dia berkoalisi, agar mencari figur-figur alternatif. Karena sebenarnya ada beberapa figur alternatif yang bagus, tapi dia tidak punya kendaraan,” jelasnya
Namun kata Hasrullah amandemen aturan Presidental Threshold merupakan kewenagan DPR, dan ia menilai jika saat ini Partai Politik dan Dewan melakukan persekongkolan untuk mempertahankan aturan tersebut.
“Jadi kalau memang mau diamandemen tergantung wakil rakyat kita. Tapikan sekarang di partai maupun di DPR itu terjadi persekongkolan politik untuk mempertahankan 25% itu (Presidental Threshold),” lanjutnya.
Ia pun menyarankan, jika masyarakat harus memilih calon-calon partai yang mempunya kredibilitas. Tetapi ia menyayangkan sikap partai yang mencari figur dengan cara instan.
“Itulah juga susahnya partai, nanti pada saat sekarang baru sadar mencari figur-fugur Capres kedepan,” katanya.
“Sama dulu kehadiran jokowi, karena dia elektibilitasnya bagus, brandingnya bagus, maka PDI melanar dia seperti itu, kenapa tidak difungsikan seperti itu, ada yg ditutupi di partai,” lanjutnya.
Terakhir, Dosen FISIP Unhas tersebut mengatakan inilah dampak dari oligarki, sehingga figur yang seharusnya punya potensi malah terkendala diaturan yang sifatnya administratif.
“Tidak jalan itu mekanisme partai untuk mencari figur-figur yang berkompeten, inilah susahnya juga karena oligarki, kitakan negara kesatuan, tapi dengan sistem seperti ini, otomatis presiden hanya bisa dari Jawa,” pungkasnya.
Sementara, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) asal Sulawesi Tengah, Abdul Rachman Thaha menilai saat ini negara tidak memberikan ruang kepada anak bangsa untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presidenan.
Sementara banyak anak bangsa di negeri ini juga sebagai tokoh nasional yang punya banyak kemampuan. Ketidakadilan berdemokrasi nampak didepan mata.
Hal tersebut diungkapkan Abdul Rachman Thaha saat melakukan Focus Group Discussion (FGD) di Menara Gedung Fhinisi Kampus Universitas Negeri Makassar (UNM), Rabu (24/11/2021).
Ia mencontohkan, ditingkat Kabupaten/Kota masih sering ditemui calon perseorangan. Namun ditingkat Pilpres belum pernah ditemukan adanya calon independen.
“Kenapa ini tidak berlaku secara nasional, inilah pentingnya amandemen, memberikan ruang kepada anak bangsa, tentu juga dengan syarat-syarat yang ditentukan regulasi,” terang Abdul Rachman Thaha.
Selaku Wakil Ketua Tim Kerja Kajian Politik Ketatanegaraan, Abdul Rachman Thaha menilai, Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) dalam perkembangan pelaksanaan perubahan Undang-undang Dasar (UUD 1945) Negara Republik Indonesia (NRI) menghadapi permasalahan ketatanegaraan setelah berjalan 23 tahun.
Katanya, ada 7 rekomendasi yang perlu dilakukan kajian yang komprehensif, yaitu mengenai Pokok-pokok haluan negara, Penataan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Penataan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah, Penataan sistem presidensial, Penataan kekuasaan kehakiman.
Penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala hukum negara, Pelaksanaan pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, dan Ketetapan MPR.
Menurutnya, dalam amandemen UUD 1945 perlu sumbangsih dari guru besar di dunia pendidikan sebab pikiran mereka masih jernih dari dunia politik.
“Karena salah satu faktor penentu terkuat wacana ini adalah akademisi, civil society, mendengar kata guru besar, memang perlu bertukar pikiran dengan mereka,” jelasnya
Sehingga kebijakan yang yang dihasilkan nantinya bisa berguna dan bermanfaat bagi masyarakat berdasarkan fakta di lapangan.
“Kami meyakini jernih pikiran mereka, berbagai kampu mendengar pendapat, semua ikut mendengarkan bahwa memang perubahan itu meskipun perlu melihat landasan keinginan, fakta empiirik saya sebenarnya sudah punya data adanya perubahan itu,” katanya.
Dari permsalahan itu, tambah Abdul Rachman Thaha, dirinya menginginkan masukan dan pandangan dari para akademisi yang berpotensi kepakarannya dalam ketatanegaraanya.
Sebab menurut, Abdul Rahman Thaha Amandemen UUD 1945 ke 5 sangat perlukan sebagai koreksi arah kebijakan perjalan bangsa kedepan. Subtansi yang masih diperlukan, utamanya mengenai penguatan kewenangan DPD-RI untuk evektivitas mekanisme checks and balances lembaga negara.
Menurutnya, Presidential Threshold dalam UU pemilu tidak sejalan dengan konstitusi, oleh karenanya dalam amandemen yang perlu di koreksi sebagai bagian dari penguatan Sistem Presidensial.
Mencermati hal itu DPD juga menggagas alternatif untuk memunculkan kepemimpinan nasional melalui pencalonan perseorangan.
Sehingga lahir wacana untuk merubah Pasal 6 UUD 1945 pemilihan presiden dan wakil presiden, yang dapat diusulkan baik oleh partai politik dan gabungan partai politik maupun perseorangan yang diusulkan oleh DPD sebagai peseta Pemilu non Parpol.
“Amandemen UUD 1945 sah secara konstitusi dan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Amandemen adalah sebuah gagasan yang disampaikan dan harus segera direspon secara politik,” tutupnya. [Red]
Sumber: Fajar
© Intermedia Corporation